You can replace this text by going to "Layout" and then "Edit HTML" section. A welcome message will look lovely here.
RSS

Kamis, 23 Januari 2014

Konsep Masyarakat Madani

Oleh : Putri Damayantie  
 
Istilah “Masyarakat Madani” (Al-Mujtama’ Al-Madani), selain menjadi isu penting dalam gerakan islam indonesia, pada saat yang sama telah menjadi wacana akademik yang cukup menarik dikampus-kampus dalam beberapa tahun terakhir ini. Perdebatan pun masih terus mewarnai diskusi atau wacana tentang konsep masyarakat madani tersebut. Pada tingkat konseptual masih diperdebatkan apakah istilah “masyarakat madani’ itu sama (identik, sepadan) dengan konsep “masyarakat islam”, “masyarakat utama”, dan lebih lus lagi dengan “civil society” (masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat beradab) yang telah diperbincangkan dalam wacana akademik. Terlepas dari persamaan atau perbedaannya, secara konseptual apa karakteristik masyarakat madani tersebut?

Istilah “masyarakat madani”, menurut sementara sumber, diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, mantan deputi perdana menteri Malaysia. Dalam pidato kebudayaannya pada forum festival istiqlal pada 1995 di jakarta, Anwar menyatakan, “justru islamlah yang pertama kali di rantau ini kepada cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis” (hamiwanto dan said, 2000:1). Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan bahwa konsep masyarakat madani berasal dari kosakata bahasa arab yang berarti, pertama, “masyarakt kota” dan, kedua, “masyarakat yang berperadaban” sehingga masyarakat madani sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban (Ibid : 2). Pada umumnya, konsep atau istilah masyarakat madani disamakan atau sepadan dengan Civil society, padanan kata lainnya yang sering digunakan ialah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya (culla, 1999:3).

Dimalaysia dan kemudian diindonesia, istilah “masyarakat madani” diterjemahkan dari istilah “civil society”, yang merujuk pada konsep klasik dari Cicero pada era Yunani kuno, ‘Civilis Societas”, yaitu komunitas politik yang beradab, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri. Masyarakat madani merujuk pada masyarakat yang pernah berkembang dimadinah pada zaman Nabi Muhammad, yang memiliki Tamaddun (peradaban). Masyarakat madani ialah masyarakat yang mengacu nilai-niai kebijakan umum, yang disebut Al-Khair (Rahardjo, 1999:152).

Dalam kajian Selligman sebagaimana disarikan oleh Culla (Ibid : 63), lahirnya gagasan Civil Society didunia barat itu diilhami oleh empat pemikiran utama, yaitu:
  1. Tradisi hukum kodrat atau hukum alam, yang meletakan pentingnya peranan aka dalam kehidupan individu dan masyarakat setelah kejatuhan negara-kota sebagaimana disuarakan Cicero 
  2. Doktrin kristen – protestan, yang intinya menyatakan bahwa tatanan masyarakat meruapakan cerminan dari tatanan ketuhanan 
  3. Paham kontrak sosial, bahwa masyarakat atau negara lahir karena kesepakan bersama akan hak-hak dasar yang harus dilindungi demi tegaknya  etik kemanusiaan 
  4. Pemisah negara dan masyarakat, yang menekankan paham bahwa negara dan masyarakat bukanlah merupakan entitas yang sama, tetapi berbeda dan masing-masing harus bersifat otonom.
Konsep masyarakat madani dilingkungan Muhammadiyah memiliki padanan dengan konsep masyarakat utama. Konsep masyarakat utama (Al-Mujtama’ Al-Fadhilah) dilingkungan muhammadiyah secara formah tercantum dalam anggaran dasar muhammadiyah hasil muktamar ke-41 pada 1985 di Surakarta. Konsep tersebut dalam konteks situasional lebih merupakan akomodasi dari konsep sebelumnya, yaitu konsep “masyarakat isam sebenar-benarnya”, ketika Muhammadiyah bersama oragnisasi kemasyarakattan lainnya dipaksa oleh rezim Soeharto untuk mencantumkan asas pancasila didalam anggaran dasar organisasinya.  Karena itu konsep masyarakat utama ditambah dengan kata-kata “yang adil dan makmur” dan ‘diridho allah SWT”

Konsep masyarakat islam atau masyarakat utama dilingkungan Muhammadiyah tersebut sering disamakan atau dirujuk kepada konsep Khaira Ummah, yang berasal dari Q.S Ali-Imran:110. Masyarakat utama sebagai model dari masyaratak muslim belum dirumuskan secara lebih rinci beserta perangkat-perangkat operasionalnya, sehingga konsep ini masih bersifat multi-interpretatip. Kndati tdak dinyatakan secara langsung, Azhar Basyir (1995: 4-6) menyebut masyarakat dalam binaan islam sebagai masyarakat rabbani, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Masyarakat yang dibina dengan ajaran wahyu dalam wujud sebaik-baik umat
  2. Masyarakat berperikemanusiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar kesatuan umat manusia 
  3. Masyrakat pengabdi tuhan yang memiliki watak dasar beribadah kepada Allah
Dengan menekan subjek dan sifatnya yang lebih normatif, Azhar Bahsyir (1983:30) menggunakan istilah “masyarakat muslim” sebagai padanan dari masyarakat dalam binaan islam (masyarakat islam) , yakni “masyarakat yang terbentuk atas dasar wahyu Ilahiyah, bukan hasil pemikiran manusia atau perkembangan evolusionistik yang alamiah, yaitu masyarakat rabani sebagaimana konsep Al-Qur’an tentang Khaira Ummar (Q.S Ali Imran 110). Faktor-faktor pendukung yang menjadi kekuatan bagi tegaknya masyarakat muslim, menurut Basyir, ialah:
  1. Akhlak dan nilai-nilai luhur yang diserukan islam 
  2. Tata aturan yang mengatur hubungan antara-individu dalam berbagai macam aspek kehidupan
  3. Pelaksaan tata aturan tersebut dalam kehdidupan masyarakat 
  4. Adat istiadat atau tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam
Sedangkan masyarakat muslim atau masyarakat  islam sebagai ummat terbaik memiliki ciri-ciri dasar sebagai berikut:
  1. Mereka berbeda dengan ummat lain dalam hal Iman, Mabda’, Fikrah, dan Aqidah yang oleh sebagian orang disebut ideologi yang menjadi titik tolak Aqidah 
  2. Mereka adalah umat yang bersaudara dalam Al-Dien ketika damai maupun perang, yang menjadi titik tolak dakwah dan harakah 
  3. Mereka umat yan menurut allah diberi Manhaj yang lengkap dan sempurna untuk kehidupsn yang lurud, ysng memuat kemaslahatan hidup manusia dan sesuai dengan fitrah mereka yang menjadi titik tolak Manhaj (Mahmud  1996:ix)

Dalam menjelaskan dan memandang konsep masyarakat madani, tampaknya seperti yang terjadi di indonesia masih terdapat pula beberapa pemahaman. Disatu pihak, terdapat pandangan yang lebih bercorak “idealis-formalis” dengan mempertautkan masyarakat madani dengan masyarakat islam yang  bercorak syariat dan lebih jauh lagi dalam proyeksi negara islam dengan representasi dari negara madinah aman nabi. Pendekatan ideologis dapat dimasukan kedalam perspektif yang disebut pertama ini. Di pihak lain, terdapat pula orang-orang yang berpandangan lebih modernis, yang meletakan masyrakat madani sebagai proses sosial yang bersifat transformaif dengan nilai-nilai islam sebagai landasan etik bagi terbentuknya masyrakat yang dicita-citakan. Diantara kedua pandangan tersebut terdapat pula sebagian kalangan yang lebih mendekati perspektif sekularis, yang melepaskan cita-cita sosial muslim dari formalisme dan etika islam dari simbol-simbol publik. Mereka membiarkan masyarakat muslim tumbuh berdasarkan hukum-hukum sosial universal dan mendomestikasikan nilai-nilai agama lebih-lebih yang bercorak ideologis semata-mata sebagai urusan pribadi dan tidak boleh menjadi domain publik.

Berbagai perspektif dan pendekatan tersebut akan terus bergulir dan menentukan corak praktis dari gerakan islam dalam menawakan model masyarakat madani dengan berbagai kaitan konseptual, ideologis, dan kepentingan konsektual yang menyertainya. Semua itu sah adanya sebagai corak dari fluralitas pemikiran dan gerakan islam termasuk diindonesia kendati dapat menjadi masalah tersendiri dalam bangunan entitas kaum muslim dinegeri ini.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

ok, btw sumbernya mana?

Anonim mengatakan...

izin save yahh

Posting Komentar