You can replace this text by going to "Layout" and then "Edit HTML" section. A welcome message will look lovely here.
RSS

Selasa, 21 Januari 2014

Budaya Menghukum Di Indonesia

 Oleh : Ardi Aditia
     Institusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan kemampuan dan pendewasaan berpikir peserta didik justru berubah menjadi ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.

     Di negara-negara bekas jajahan (post colonial states) budaya kekerasan dan menghukum menjadi suatu yang lumrah dan dianggap sebagai pelampiasan atas tekanan dan kekerasan yang sekilan puluh bahkan ratusan tahun dipraktikkan oleh penjajah terhadap penduduk di negara-negara jajahannya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara yang
daerah-daerahnya pernah dijajah selama 3 generasi (± 350 tahun) oleh Belanda menyebabkan
tumpulnya pola berpikir, matinya kreatifitas dan rusaknya sendi-sendi sosial yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat.

Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum dibagi ke dalam 2 (dua) kategori yaitu;

1.    Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum Yang Bersifat Fisik.
Bentuk kekerasan ini biasanya terjadi sebagai akibat dilanggarnya peraturan sekolah maupun ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di dalam lingkungan sekolah. Contohnya:
  • Lari keliling lapangan upacara atau lapangan olahraga yang ada di lingkungan   sekolah.
  • Membersihkan lingkungan sekolah; seperti mengutip sampah, dan membersihkan halaman.
  • Penjemuran ditengah terik matahari dengan memberi hormat kepada bendera Merah-Putih.
  • Pemukulan ringan yang dilakukan oknum sekolah kepada siswa di bagian badan tertentu.
  • Penamparan, dan
  • Bentuk-bentuk perbuatan yang menyakitkan lainnya secara fisik.

2.   Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum Yang Bersifat Non Fisik

     Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik ini bahkan sudah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya dari satu generasi ke generasi lainnya. 

     Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik ini tidak hanya dipraktikkan oleh guru-guru yang berpendidikan diploma maupun sarjana strata satu (S1) tetapi juga dipraktikkan oleh dosen-dosen yang berpendidikan strata dua (S2), strata tiga (S3) dan bahkan profesor sekalipun. Mereka menganggap bahwa mata pelajaran/mata kuliah yang dikelolanya merupakan wilayah hukumnya (territory)  yang mana ia memiliki kedaulatan penuh (full sovereignity) untuk melakukan apa saja terkait dengan metode pengajaran yang diberikannya kepada para peserta didiknya dan orang lain tidak berhak mencampuri segala kebijakan akademis yang dilakukannya. Dengan adanya asumsi yang demikian maka terbukalah peluang untuk tejadinya praktik-praktik kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik di dalam institusi pendidikan tinggi.

     Adapun bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik yang
sering terjadi di dalam berbagai tingkatan institusi pendidikan di Indonesia, yaitu;

  1. Guru/Dosen sulit memberikan nilai.
  2. Guru/Dosen sulit dijumpai untuk keperluan akademik.
  3. Guru/Dosen bersikap arogan dalam memberikan pendapat pada setiap session mata  pelajaran/mata kuliah.
  4. Guru/Dosen bersifat monoton dalam memberikan nilai. Hanya bersandar pada satu aspek penilaian saja, contohnya kehadiran sedangkan aspek lainnya seperti keaktifan di dunia LSM, keaktifan di kegiatan ekstra kurikuler kampus, dan keaktifan di dalam lokal/ruang kelas tidak dijadikan satu aspek penilaian tersendiri.
         Padahal tujuan dasar institusi pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia dimana para peserta didik diharapkan memiliki respon sosial yang baik, mau menolong sesama, peduli terhadap penderitaan orang lain, menolak penindasan dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik bagi masyarakatnya.

  5. Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum lainnya yang bersifat non fisik.
    Sudah menjadi rahasia umum di dalam institusi pendidikan tinggi di Indonesia bahwa para dosen yang bertitel strata tiga (S3) dan bahkan professor merasa ”bangga” jika ia sulit dijumpai oleh mahasiswanya dan merasa ”bahagia” jika ia dianggap sulit memberikan nilai.

     Walaupun tidak semua dosen yang bertitel starat tiga (S3) dan professor yang berlaku demikian tetapi kebanyakan dosen melakukan praktik-praktik kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik kepada mahasiswanya. Sehingga mahasiswa yang seharusnya didorong agar dapat mengembangkan kreatifitas dan potensi dirinya menjadi pesimis dan cenderung apatis terhadap lingkungan sekitarnya.

          Kemudian mahasiswa terkungkung pola pikirnya dan hanya berusaha untuk mengejar nilai A atau B yang di atas kertas merupakan nilai yang baik tetapi di balik itu ia menjadi pribadi yang apatis, anti sosial, pesimis dan cenderung rendah diri terhadap kemampuan dan potensi dirinya.
  
     Dunia pendidikan Indonesia harus segera merubah dan mereformasi dirinya agar mampu memberikan sumbangsih nyata dan partisipasi aktif bagi pembangunan sumber daya manusia. Ada baiknya diambil hal-hal yang baik dari sistem pengajaran dan pendidikan yang berlaku di dunia barat (Eropa dan Amerika) walaupun ada hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan adat ketimuran seperti sifat individualistik, kekebasan tanpa batas, tindakan kriminal sekolah yang dilakukan oleh siswa dan mahasiswa seperti penembakan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah dan universitas di Amerika Serikat.
    
     Masih ada harapan untuk mereformasi dan melakukan perubahan bagi perbaikan dan kemajuan dunia pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia demi terwujudnya masyarakat yang berbudaya dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi.


http://alabaspos.com/view.1114.891.Radikalisme-Institusi-Pendidikan-di-Indonesia-.html

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

oke, trims ya

Posting Komentar