Oleh : Sukamah
DAFTAR ISTILAH KUNCI
· DGHE = Directorate General of Higher Education (Direktorat jenderal dari/tentang pendidikan lebih tinggi)
· Rule of Law = Penegakan hukum
· Doktrin = Ajaran dari suatu rezim yang dianggap benar sehingga harus dipatuhi
· HELTS = Higher Education Long Term Strategy (Pendidikan lebih tinggi strategi jangka panjang)
· Isu = Berita yang belum tentu kebenarannya sehingga harus dibuktikan
· Kompetensi = Seperangkat tindakan cerdas yang harus dimiliki peserta didik
· Visi = Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
· Misi = Penjabaran operasional dari visi
· Premis = Pernyataan awal dari suatu fakta
· DGHE = Directorate General of Higher Education (Direktorat jenderal dari/tentang pendidikan lebih tinggi)
· Rule of Law = Penegakan hukum
· Doktrin = Ajaran dari suatu rezim yang dianggap benar sehingga harus dipatuhi
· HELTS = Higher Education Long Term Strategy (Pendidikan lebih tinggi strategi jangka panjang)
· Isu = Berita yang belum tentu kebenarannya sehingga harus dibuktikan
· Kompetensi = Seperangkat tindakan cerdas yang harus dimiliki peserta didik
· Visi = Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
· Misi = Penjabaran operasional dari visi
· Premis = Pernyataan awal dari suatu fakta
A. Latar Belakang Rule of Law
Latar belakang kelahiran rule of law:
1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara.
2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum. Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Latar belakang kelahiran rule of law:
1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara.
2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum. Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri
dari:
- Supremasi aturan-aturan hukum.
- Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
- Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
- Supremasi aturan-aturan hukum.
- Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
- Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law adalah:
5. Adanya perlindungan konstitusional.
6. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
7. Pemilihan umum yang bebas.
8. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
9. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
10. Pendidikan kewarganegaraan. Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesame warga Negara maupun pemerintah. Untuk membangun kesadaran di masyarakat maka perlu memasukan materi instruksional rule of law sebagai salah satu materi di dalam mata kuliah Pendidikan Kewareganegaraan (PKn). PKn adalah desain baru kurikulum inti di PTU yang menjunjung pencapaian Visi Indonesia 2020 (Tap. MPR No. VII/MPR/2001) dan Visi Pendidikan Tinggi 2010 (HELTS 2003-2010-DGHE). Materinya merupakan bentuk penjabaran UU No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
B. Pengertian Rule of Lau
Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya nrgara. Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
C. Prinsip-prinsip Rule of Law
di Indonesia
1. Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “eri keadilan”;
b. …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c. …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d. …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f. …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3), b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan (pasal 24 ayat 1), c. Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hokum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1), d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
1. Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “eri keadilan”;
b. …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c. …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d. …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f. …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3), b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan (pasal 24 ayat 1), c. Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hokum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1), d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
2.
Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya
dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement
of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam
penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi social yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersufat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan dimasyarakat.
Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi social yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersufat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan dimasyarakat.
D. Strategi Pelaksanaan
(Pengembangan) Rule of Law
Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan yang diharapkan, maka:
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b. Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
c. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan yang diharapkan, maka:
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b. Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
c. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif
(Setjipto Raharjo: 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan
sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hokum progresif bahwa
”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat
kandungan moral yang kuat.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
2. Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).
Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan rule of law antara lain:
o Kasus korupsi KPU dan KPUD;
o Kasus illegal logging;
o Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA);
o Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika ;
o Kasus perdagangan wanita dan anak.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
2. Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).
Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan rule of law antara lain:
o Kasus korupsi KPU dan KPUD;
o Kasus illegal logging;
o Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA);
o Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika ;
o Kasus perdagangan wanita dan anak.
E. Membudidayakan Perilaku Anti Korupsi
Dalam 10
tahun terakhir, gelombang perubahan yang
menakjubkan telah terjadi di Indonesia.
Pemerintah telah memilih jalan untuk melaksanakan
program desentralisasi secara besar- besaran dan telah
melaksanakan pemilihan umum secara langsung untuk memilih
presiden, gubernur, bupati, dan walikota.
Hal ini haruslah
dilihat sebagai proses transisi secara
damai dari rezim otoriter kepada rezim
demokrasi yang diikuti pula dnegan perubahan – perubahan
kelembagaan dan transformasi regulasi. Dalam konteks inilah masalah korupsi di
Indonesia perlu untuk dikaji. Korupsi bukanlah sesuatu
yang khas Indonesia. Hampir di kebanyakan negara
korupsi selalu terjadi. Korupsi merebak hampir di semua
negara di dunia baik negara industri
maupun Negara berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi
Internasional menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di dunia. Dalam bidang pemberantasan
korupsi, skor Indonesia hanya sejajar dengan
Nigeria dan Bangladesh dan tertinggal jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia. Hasil survei
ini mencerminkan transparansi yang lebih besar
mengenai korupsi di Indonesia dan
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang
terbuka. Masyarakat mengakui bahwa korupsi secara
objektif terjadi di berbagai sektor dan
masyarakat juga berpendapat bahwa korupsi
merupakan kejahatan yang harus dibasmi.
Korupsi merupakan ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi
di Indonesia karena korupsi melemahkan kemampuan
negara untuk menyediakan barang – barang
publik dan mengurani kredibilitas negara di mata
rakyat.
Dalam jangka
panjang korupsi merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei nasional yang dilaksanakan oleh
Partnerhip for Governance Rerofm in Indonesia
menyajikan sumber informasi yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah
tangga, pejabat publik dan pengusaha. Hasil survei mengungkapkan
bahwa 75 % responden berpendapat bahwa korupsi
sangat lazim di sektor publik. Di samping
itu, 65 % rumah tangga melaporkan telah
mengalami secara langsung dan 70 %
responden melihat korupsi sebagai “penyakit yang
harus diberantas”. Survei juga mengungkapkan
tingkat kemarahan publik dan kemuakan
terhadap korupsi. 80 %
responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup dipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil responden menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu. Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan. Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaga negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling korupsi termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas Pabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umum dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang diranking paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa. Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab- penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukka
kepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis data yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebut berkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilai organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi. Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC, pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan menentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat, terorganisasi secara rapi dalam kelompok -kelompok yang saling menguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematis dalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampu mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga mengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akan tergambar suasana sebagai berikut :
responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup dipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil responden menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu. Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan. Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaga negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling korupsi termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas Pabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umum dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang diranking paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa. Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab- penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukka
kepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis data yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebut berkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilai organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi. Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC, pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan menentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat, terorganisasi secara rapi dalam kelompok -kelompok yang saling menguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematis dalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampu mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga mengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akan tergambar suasana sebagai berikut :
(1) Birokrasi sebagai pelayan publik merasa
bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasa takut untuk
memungut biaya tidak resmi dan akan
mendapatkan
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan insentif resmi karena bertindak jujur.
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan insentif resmi karena bertindak jujur.
(2) Masyarakat menganggap
aturan – aturan akan ditaati sehingga
masyarakat memposisikan perilakunya dalam kerangka
peraturan tersebut.
(3) Masyarakat tidak perlu
membayar insentif tidak resmi (komisi,
suap, uang pelicin) karena mengetahui bahwa
tanpa membayar pun akan dilindungi hak-haknya
untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas.
Pengalaman di negara maju
menunjukkan bahwa upaya untuk membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu
yang lama dan komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus dari masyarakat dan media
massa. Oleh karena
itu mengharapkan Indonesia mampu memberantas
korupsi dan
membudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah harapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melalui proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
membudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah harapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melalui proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia menemukan
momentum untuk memulai perang melawan korupsi
dengan dilakukan perubahan mendasar dalam bidang
ketatanegaraan yang memungkinkan dilaksanakannya pemilihan
umum yang jujur, bebas, adil dan
pemilihan langsung
presiden pada tahun 2004.
presiden pada tahun 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Kewarganegaraan UPT Bidang Study
Unipersitas Padjadjaran. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPT Bidang
Study Universitas Padjadjaran
Wahab, Abdul Azis dkk. 1993. Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka DEPDIKBUD
Kusmiaty, Dra, dkk. 2000. Tata Negara. Jakarta : PT Bumi Aksara
Wahab, Abdul Azis dkk. 1993. Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka DEPDIKBUD
Kusmiaty, Dra, dkk. 2000. Tata Negara. Jakarta : PT Bumi Aksara
1 komentar:
oke, terimakasih
Posting Komentar