Oleh : Putri Damayantie
Istilah “Masyarakat Madani” (Al-Mujtama’ Al-Madani), selain menjadi isu penting dalam gerakan
islam indonesia, pada saat yang sama telah menjadi wacana akademik yang cukup
menarik dikampus-kampus dalam beberapa tahun terakhir ini. Perdebatan pun masih
terus mewarnai diskusi atau wacana tentang konsep masyarakat madani tersebut.
Pada tingkat konseptual masih diperdebatkan apakah istilah “masyarakat madani’
itu sama (identik, sepadan) dengan konsep “masyarakat
islam”, “masyarakat utama”, dan lebih lus lagi dengan “civil society” (masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat
beradab) yang telah diperbincangkan dalam wacana akademik. Terlepas dari
persamaan atau perbedaannya, secara konseptual apa karakteristik masyarakat
madani tersebut?
Istilah “masyarakat madani”, menurut sementara
sumber, diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, mantan deputi perdana menteri Malaysia.
Dalam pidato kebudayaannya pada forum festival istiqlal pada 1995 di jakarta, Anwar
menyatakan, “justru islamlah yang pertama kali di rantau ini kepada cita-cita
keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang
bersifat demokratis” (hamiwanto dan said, 2000:1). Syed Muhammad Naquib Al-Attas
mengatakan bahwa konsep masyarakat madani berasal dari kosakata bahasa arab
yang berarti, pertama, “masyarakt kota”
dan, kedua, “masyarakat yang
berperadaban” sehingga masyarakat madani sama dengan civil society, yaitu
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban (Ibid : 2). Pada
umumnya, konsep atau istilah masyarakat madani disamakan atau sepadan dengan Civil
society, padanan kata lainnya yang sering digunakan ialah masyarakat warga atau
masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat
berbudaya (culla, 1999:3).
Dimalaysia
dan kemudian diindonesia, istilah “masyarakat
madani” diterjemahkan dari istilah “civil
society”, yang merujuk pada konsep klasik dari Cicero pada era Yunani kuno,
‘Civilis Societas”, yaitu komunitas
politik yang beradab, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memiliki
kode hukum tersendiri. Masyarakat madani merujuk pada masyarakat yang pernah
berkembang dimadinah pada zaman Nabi Muhammad, yang memiliki Tamaddun
(peradaban). Masyarakat madani ialah masyarakat yang mengacu nilai-niai
kebijakan umum, yang disebut Al-Khair (Rahardjo, 1999:152).
Dalam kajian
Selligman sebagaimana disarikan oleh Culla (Ibid : 63), lahirnya gagasan Civil
Society didunia barat itu diilhami oleh empat pemikiran utama, yaitu:
- Tradisi hukum kodrat atau hukum alam, yang meletakan pentingnya peranan aka dalam kehidupan individu dan masyarakat setelah kejatuhan negara-kota sebagaimana disuarakan Cicero
- Doktrin kristen – protestan, yang intinya menyatakan bahwa tatanan masyarakat meruapakan cerminan dari tatanan ketuhanan
- Paham kontrak sosial, bahwa masyarakat atau negara lahir karena kesepakan bersama akan hak-hak dasar yang harus dilindungi demi tegaknya etik kemanusiaan
- Pemisah negara dan masyarakat, yang menekankan paham bahwa negara dan masyarakat bukanlah merupakan entitas yang sama, tetapi berbeda dan masing-masing harus bersifat otonom.
Konsep
masyarakat madani dilingkungan Muhammadiyah memiliki padanan dengan konsep
masyarakat utama. Konsep masyarakat utama (Al-Mujtama’ Al-Fadhilah)
dilingkungan muhammadiyah secara formah tercantum dalam anggaran dasar
muhammadiyah hasil muktamar ke-41 pada 1985 di Surakarta. Konsep tersebut dalam
konteks situasional lebih merupakan akomodasi dari konsep sebelumnya, yaitu
konsep “masyarakat isam sebenar-benarnya”, ketika Muhammadiyah bersama
oragnisasi kemasyarakattan lainnya dipaksa oleh rezim Soeharto untuk
mencantumkan asas pancasila didalam anggaran dasar organisasinya. Karena itu konsep masyarakat utama ditambah
dengan kata-kata “yang adil dan makmur” dan ‘diridho allah SWT”
Konsep
masyarakat islam atau masyarakat utama dilingkungan Muhammadiyah tersebut
sering disamakan atau dirujuk kepada konsep Khaira Ummah, yang berasal dari Q.S
Ali-Imran:110. Masyarakat utama sebagai model dari masyaratak muslim belum
dirumuskan secara lebih rinci beserta perangkat-perangkat operasionalnya,
sehingga konsep ini masih bersifat multi-interpretatip. Kndati tdak dinyatakan
secara langsung, Azhar Basyir (1995: 4-6) menyebut masyarakat dalam binaan
islam sebagai masyarakat rabbani, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Masyarakat yang dibina dengan ajaran wahyu dalam wujud sebaik-baik umat
- Masyarakat berperikemanusiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar kesatuan umat manusia
- Masyrakat pengabdi tuhan yang memiliki watak dasar beribadah kepada Allah
Dengan
menekan subjek dan sifatnya yang lebih normatif, Azhar Bahsyir (1983:30)
menggunakan istilah “masyarakat muslim” sebagai padanan dari masyarakat dalam
binaan islam (masyarakat islam) , yakni “masyarakat yang terbentuk atas dasar
wahyu Ilahiyah, bukan hasil pemikiran manusia atau perkembangan evolusionistik
yang alamiah, yaitu masyarakat rabani sebagaimana konsep Al-Qur’an tentang
Khaira Ummar (Q.S Ali Imran 110). Faktor-faktor pendukung yang menjadi kekuatan
bagi tegaknya masyarakat muslim, menurut Basyir, ialah:
- Akhlak dan nilai-nilai luhur yang diserukan islam
- Tata aturan yang mengatur hubungan antara-individu dalam berbagai macam aspek kehidupan
- Pelaksaan tata aturan tersebut dalam kehdidupan masyarakat
- Adat istiadat atau tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam
Sedangkan masyarakat muslim atau
masyarakat islam sebagai ummat terbaik
memiliki ciri-ciri dasar sebagai berikut:
- Mereka berbeda dengan ummat lain dalam hal Iman, Mabda’, Fikrah, dan Aqidah yang oleh sebagian orang disebut ideologi yang menjadi titik tolak Aqidah
- Mereka adalah umat yang bersaudara dalam Al-Dien ketika damai maupun perang, yang menjadi titik tolak dakwah dan harakah
- Mereka umat yan menurut allah diberi Manhaj yang lengkap dan sempurna untuk kehidupsn yang lurud, ysng memuat kemaslahatan hidup manusia dan sesuai dengan fitrah mereka yang menjadi titik tolak Manhaj (Mahmud 1996:ix)
Dalam
menjelaskan dan memandang konsep masyarakat madani, tampaknya seperti yang
terjadi di indonesia masih terdapat pula beberapa pemahaman. Disatu pihak,
terdapat pandangan yang lebih bercorak “idealis-formalis” dengan mempertautkan
masyarakat madani dengan masyarakat islam yang
bercorak syariat dan lebih jauh lagi dalam proyeksi negara islam dengan
representasi dari negara madinah aman nabi. Pendekatan ideologis dapat
dimasukan kedalam perspektif yang disebut pertama ini. Di pihak lain, terdapat
pula orang-orang yang berpandangan lebih modernis, yang meletakan masyrakat
madani sebagai proses sosial yang bersifat transformaif dengan nilai-nilai
islam sebagai landasan etik bagi terbentuknya masyrakat yang dicita-citakan.
Diantara kedua pandangan tersebut terdapat pula sebagian kalangan yang lebih
mendekati perspektif sekularis, yang melepaskan cita-cita sosial muslim dari
formalisme dan etika islam dari simbol-simbol publik. Mereka membiarkan
masyarakat muslim tumbuh berdasarkan hukum-hukum sosial universal dan
mendomestikasikan nilai-nilai agama lebih-lebih yang bercorak ideologis
semata-mata sebagai urusan pribadi dan tidak boleh menjadi domain publik.
Berbagai
perspektif dan pendekatan tersebut akan terus bergulir dan menentukan corak
praktis dari gerakan islam dalam menawakan model masyarakat madani dengan
berbagai kaitan konseptual, ideologis, dan kepentingan konsektual yang
menyertainya. Semua itu sah adanya sebagai corak dari fluralitas pemikiran dan
gerakan islam termasuk diindonesia kendati dapat menjadi masalah tersendiri
dalam bangunan entitas kaum muslim dinegeri ini.
2 komentar:
ok, btw sumbernya mana?
izin save yahh
Posting Komentar