Oleh :
Mualimah (1301145061)
Islam dalam sebuah agama dengan ajarannya yang universal
dan komprehensif meliputi akidah, ibadah, dan mu’amalat, yang masing-masing
memuat ajaran tentang keimanan. Dimensi ibadah memuat ajaran tentang mekanisme
pengabdian manusia taerhadap Allah, dengan memuat ajaran tentang hubungan
manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Kesemua dimensi
ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut dengan istilah
syari’at atau fikih. Tujuan eksistensi manusia di dunia menurut Islam adalah
semata-mata untuk beribadah, menghambakan diri, serta patuh kepada Allah SWT.
Dalam
konteks syari’at dan fikih itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia
(HAM). Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sebagai
agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Karena
itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan dari
ajaran Islam itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesame
manusia tanpa terkecuali.
Menurut
Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah swt. Pada tiap-tiap
manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan
apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi,
tidak boleh atau dimodifikasi Abu A’la al-Maududi, 1998). Menurut pandangan
Islam, konsep HAM bukanlah hasil evolusi apa pun dari pemikiran manusia, namun merupakan
hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para nabi dan rasul dari
sejak permulaan eksistensi umat manusia di atas bumi ini. Dalam Islam terdapat
dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (haq al insan/huquuqul-‘ibad)
merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk
Allah lainnya, dan hak Allah (huquullah) adalah hak
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT. Yang diwujudkan dalam berbagai
ritual ibadah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah
melandasi hak manusia dan hak juga sebaliknya.
Dalam
aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari dua hak tersebut,
misalnya, shalat. Manusia tidak perlu campur tangan untuk memaksakan seseorang mau
shalat atau tidak, karena shalat merupakan hak Allah, maka tidak ada kekuatan
duniawi-apakah itu negara, organisasi ataupun teman yang berhak mendesak
seseorang untuk melakukan shalat. Shalat merupakan urusan pribadi yang
bersangkutan dengan Allah. Meskipun demikian dalam sholat itu ada hak individu
manusia yaitu berbuat kedamaian antar sesamanya.
Sementara
itu dalam haq al insan seperti
hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Namun demikian pada hak manusia itu tetap ada hak Allah yang mendasarinya.
Konsekuensinya adalah bahwa meskipun seseorang berhak memanfaatkan benda
miliknya, tetapi tidak boleh menggunakan harta miliknya itu untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Jadi sebagai pemilik hak, diakui dan
dilindungi dalam penggunaan haknya, namun tidak boleh melanggar hak yang Mutlak
(hak Allah). Kepemilikan hak pada manusia bersifat relative, sementara pemilik
hak yang absolut hanyalah Allah.
Ada
dua macam HAM jika dilihat dari kategori huquuqul-‘ibad/haq al-insan. Pertama, HAM yang keberadaannya dapat
diselenggarakan oleh suatu negara (Islam), kedua
adalah HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh
suatu negara. Hak yang pertama dapat disebut sebagai hak-hak yang legal,
sedangkan yang kedua dapat disebut sebagai hak-hak moral. Perbedaan antara
keduanya hanyalah terletak pada masalah pertanggungjawaban di depan suatu
negara Islam. Adapun dalam masalah sumber asal, sifat, dan
pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT Yang Maha Kuasa itu sama.
Aspek
khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya orang lain yang dapat
memaafkan suatu pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seseorang
yang harus dipenuhi haknya. Meskipun Allah sendiri yang telah menganugerahkan
hak-hak ini dan semua manusi ini wajib mempertanggungjawabkannya, Allah tidak
akan melaksanakan kekuasaan-Nya untuk mengampuni pelanggaran hak-hak pada hari
akhirat kelak. Negara harus terikat member hukuman kepada para pelanggar dan
member bantuan kepada pihak yang dirugikan, kecuali pihak yang dianiaya telah
memaafkan pelakunaya.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada
pendekatan teosentris (thecentries) atau yang menempatkan Allah melalui
ketentuan syari’atnya sebagai tolak ukur tentang baik-buruk tatanan kehidupan manusia baik
sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan
demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep tauhid
mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup
ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtiar
Effendy disebut denga ide perikemakhlukan.
Ide perikemakhlukan memuat nilai-nilai kemanusiaan dalam arti sempit. Ide
perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang
terhadap sesame makhluk termasuk juga pada bintang dan alam sekitar.
HAM dalam Islam sebenarnya bukan barang asing, karena
wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan
kata lain, Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Sebagaimana
dikemukakan oleh Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang terkandung dalam Piagam Magna Charta tercipta 600 tahun setelah
kedatangan Islam. Selain itu, juga diperkuat oleh pandangan Weeramantry bahwa
pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang social, ekonomi dan budaya telah
jauh mendahului pemikiran Barat (Bambang Cipto, dkk., 2002). Ajaran Islam
tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Qur’an dan
Hadits yang merupakan sumber ajaran normativ, juga terdapat dalam praktik
kehidupan umat Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM, yaitu
pada pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan deklarasi Kairo (Cairo Declaration).
Dalam Piagam Madinah paling tidak ada dua ajaran pokok
yaitu : semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku
bangsa dan hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada
prinsip :
- Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
- Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
- Membela mereka yang teraniaya;
- Saling menasehati;
- Menghormati kebebasan beragama.
Sedangkan ketentuan HAM
yang terdapat dalam Deklarasi Kairo sebagai berikut :
- Hak persamaan dan kebebasan (surat al-Isra : 70; an-Nisa : 58, 105, 107, 135; al-Mumtahanah : 8);
- Hak hidup (surat al-Maidah : 45; al-Isra : 33);
- Hak perlindungan diri (surat al-Balad : 12-17; at-Taubah : 6);
- Hak kehormatan pribadi (surat at-Taubah : 6);
- Hak berkeluarga (surat al-Baqarah : 221; al-Rum : 21; an-Nisa : 1; at-Tahrim : 6);
- Hak kesetaraan wanita dengan pria (surat al-Baqarah : 228; al-Hujrat : 13);
- Hak anak dari orang tua (surat al-Baqarah : 223; al-Isra : 23-24);
- Hak mendapatkan Pendidikan (surat at-Taubah : 122; al-‘Alaq : 1-5);
- Hak kebebasan beragama (surat al-Kafirun : 1-6; al-Baqarah : 156; al-kahfi : 29);
- Hak kebebasan mencari suaka (surat an-Nisa : 97; al-Mumtahanah : 9); 11. Hak memeperoleh pekerjaan (surat at-Taubah : 105; al-Baqarah : 286; al-Mulk : 15);
- Hak memperoleh perlakuan yang sama (surat al-Baqarah : 275-278; an-Nisa : 161; Al-Imran : 130);
- Hak kepemilikan (surat al-Baqarah : 29; an-Nisa : 29); 14. Hak tahanan (surat al-Mumtahanah : 8).
Dilihat
dari tingkatannya, ada 3 (tiga) bentuk hak asasi manusia dalam Islam. Pertama, hak darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut
dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat
kemanusiannya. Sebagai misal, bila hak hidup seseorang dilanggar, maka berarti
orang itu mati. Kedua, hak sekunder (hajy), yakni hak-hak yang bila tidak
dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya, hak
seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan mengakibatkan
hilangnya hak hidup. Ketiga hak
tersier (tahsiny) yakni hak yang
tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas’udi,
2002).
HAM menurut konsep Islam khususnya pada negara Islam, HAM
bukanlah merupakan sifat defensive terhadap kekuasaan negara yang tak terbatas,
namun tujuan dari negara itu sendiri untuk memulihkan hak-hak mereka yang
dilanggar. HAM yang merupakan syari’at yang penting adalah abadi, yang dalam
hal ini tidak boleh diubah meskipun consensus seluruh masyarakat atau
lebih-lebih wewenang negara dapat memodifikasi atau membatasinya, berbeda
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. HAM didalamnya
merupakan doktrin yang paling manusiawi.
Sumber :
- Azra, azyumardi dan Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Penerbit : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
- Hussain, Syaukat. 1996. Hak Asasi Manusia Dalam Islam. Penerbit : Gema Insani Press.
2 komentar:
oke, trimakasih ya
Sangat lengkap penjelasan tentang HAM dalam Islam yang sedang saya cari... Terima kasih
Posting Komentar