Oleh : Ardi Aditia
Institusi pendidikan yang diharapkan dapat
menjadi media bagi pengembangan kemampuan dan pendewasaan berpikir peserta
didik justru berubah menjadi ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan
dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep
dasar pendidikan.
Di negara-negara bekas jajahan (post colonial states) budaya kekerasan dan menghukum menjadi suatu
yang lumrah dan dianggap sebagai pelampiasan atas tekanan dan kekerasan yang
sekilan puluh bahkan ratusan tahun dipraktikkan oleh penjajah terhadap penduduk
di negara-negara jajahannya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai
sebuah negara yang
daerah-daerahnya pernah dijajah selama 3 generasi (± 350 tahun) oleh Belanda menyebabkan
tumpulnya pola berpikir, matinya kreatifitas dan rusaknya sendi-sendi sosial yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat.
daerah-daerahnya pernah dijajah selama 3 generasi (± 350 tahun) oleh Belanda menyebabkan
tumpulnya pola berpikir, matinya kreatifitas dan rusaknya sendi-sendi sosial yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat.
Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum dibagi ke
dalam 2 (dua) kategori yaitu;
1. Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum Yang Bersifat Fisik.
1. Budaya Kekerasan dan Budaya Menghukum Yang Bersifat Fisik.
Bentuk kekerasan ini
biasanya terjadi sebagai akibat dilanggarnya peraturan sekolah maupun
ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di dalam lingkungan sekolah. Contohnya:
- Lari keliling lapangan upacara atau lapangan olahraga yang ada di lingkungan sekolah.
- Membersihkan lingkungan sekolah; seperti mengutip sampah, dan membersihkan halaman.
- Penjemuran ditengah terik matahari dengan memberi hormat kepada bendera Merah-Putih.
- Pemukulan ringan yang dilakukan oknum sekolah kepada siswa di bagian badan tertentu.
- Penamparan, dan
- Bentuk-bentuk perbuatan yang menyakitkan lainnya secara fisik.
2. Budaya
Kekerasan dan Budaya Menghukum Yang Bersifat Non Fisik
Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik ini bahkan
sudah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya dari satu generasi ke
generasi lainnya.
Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya
menghukum yang bersifat non fisik ini tidak hanya dipraktikkan oleh guru-guru
yang berpendidikan diploma maupun sarjana strata satu (S1) tetapi juga
dipraktikkan oleh dosen-dosen yang berpendidikan strata dua (S2), strata tiga
(S3) dan bahkan profesor sekalipun. Mereka menganggap bahwa mata pelajaran/mata
kuliah yang dikelolanya merupakan wilayah hukumnya (territory) yang mana
ia memiliki kedaulatan penuh (full sovereignity) untuk melakukan apa saja
terkait dengan metode pengajaran yang diberikannya kepada para peserta didiknya
dan orang lain tidak berhak mencampuri segala kebijakan akademis yang dilakukannya.
Dengan adanya asumsi yang demikian maka terbukalah peluang untuk tejadinya
praktik-praktik kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik di dalam
institusi pendidikan tinggi.
Adapun bentuk-bentuk
kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik yang
sering terjadi di dalam berbagai tingkatan institusi pendidikan di Indonesia, yaitu;
sering terjadi di dalam berbagai tingkatan institusi pendidikan di Indonesia, yaitu;
- Guru/Dosen sulit memberikan nilai.
- Guru/Dosen sulit dijumpai untuk keperluan akademik.
- Guru/Dosen bersikap arogan dalam memberikan pendapat pada setiap session mata pelajaran/mata kuliah.
- Guru/Dosen bersifat monoton
dalam memberikan nilai. Hanya bersandar pada satu aspek penilaian saja,
contohnya kehadiran sedangkan aspek lainnya seperti keaktifan di dunia LSM,
keaktifan di kegiatan ekstra kurikuler kampus, dan keaktifan di dalam
lokal/ruang kelas tidak dijadikan satu aspek penilaian tersendiri.
Padahal tujuan dasar institusi pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia dimana para peserta didik diharapkan memiliki respon sosial yang baik, mau menolong sesama, peduli terhadap penderitaan orang lain, menolak penindasan dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik bagi masyarakatnya.
- Bentuk-bentuk kekerasan dan budaya menghukum lainnya yang bersifat
non fisik.
Sudah menjadi rahasia umum di dalam institusi pendidikan tinggi di Indonesia bahwa para dosen yang bertitel strata tiga (S3) dan bahkan professor merasa ”bangga” jika ia sulit dijumpai oleh mahasiswanya dan merasa ”bahagia” jika ia dianggap sulit memberikan nilai.
Walaupun tidak semua dosen yang bertitel starat tiga (S3) dan professor yang berlaku demikian tetapi kebanyakan dosen melakukan praktik-praktik kekerasan dan budaya menghukum yang bersifat non fisik kepada mahasiswanya. Sehingga mahasiswa yang seharusnya didorong agar dapat mengembangkan kreatifitas dan potensi dirinya menjadi pesimis dan cenderung apatis terhadap lingkungan sekitarnya.
Kemudian mahasiswa terkungkung
pola pikirnya dan hanya berusaha untuk mengejar nilai A atau B yang di atas
kertas merupakan nilai yang baik tetapi di balik itu ia menjadi pribadi yang
apatis, anti sosial, pesimis dan cenderung rendah diri terhadap kemampuan dan
potensi dirinya.
Dunia pendidikan Indonesia harus segera merubah dan mereformasi dirinya agar mampu memberikan sumbangsih nyata dan partisipasi aktif bagi pembangunan sumber daya manusia. Ada baiknya diambil hal-hal yang baik dari sistem pengajaran dan pendidikan yang berlaku di dunia barat (Eropa dan Amerika) walaupun ada hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan adat ketimuran seperti sifat individualistik, kekebasan tanpa batas, tindakan kriminal sekolah yang dilakukan oleh siswa dan mahasiswa seperti penembakan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah dan universitas di Amerika Serikat.
Masih ada harapan untuk mereformasi
dan melakukan perubahan bagi perbaikan dan kemajuan dunia pendidikan dan
pembangunan sumber daya manusia Indonesia demi terwujudnya masyarakat yang
berbudaya dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi.
dan teknologi.
http://alabaspos.com/view.1114.891.Radikalisme-Institusi-Pendidikan-di-Indonesia-.html
1 komentar:
oke, trims ya
Posting Komentar